• Post author:
  • Post category:Jurnal
  • Reading time:6 mins read

cover-jurnal5Polemik seputar kepemiluan Indonesia seperti pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pelibatan publik dalam pengawasan anggaran negara, pengaturan dana kampanye, electoral corruption, pelibatan perempuan dalam hukum dan pemerintahan terus menerus menuai diskursus dan berada pada tahap yang memprihatinkan.

Salah satu langkah penyelamatan dari ragam aspek sentral diatas dapat dimulai dengan mendorong partisipasi dan transparansi. Partisipasi dan transparansi akan tepat guna apabila sinergi antara regulasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat.

Pemikiran tentang hukum dan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan hukum sebagaimana dinukilkan oleh Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound mengedepankan essensialitas masyarakat sebagai instrumen utama atas suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena hukum yang baik adalah selaras dengan kondisi yang sedang berkembang di masyarakat. Dan inilah yang disebut dengan mazhab sociological jurisprudence.

Dikuatkan oleh Satjipto Rahardjo, perkembangan kebutuhan dan pemikiran hukum merupakan bagian dari pemahaman sejarah masyarakatnya. Sehingga, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan basis sosial hukum pada masyarakat bersangkutan (hukum yang fungsional). Berdasarkan pandangan ini, hukum didudukkan sebagai law as a great anthropological document atau law as a great anthropological monument. Karena itu, untuk dapat mengidentifikasi format dan praksis hukum yang dibutuhkan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka perlu memahami sejarah dan kondisi masyarakat.

Indonesia sebagai Negara yang menganut paham constitutional democracy telah memberi peluang tersebut melalui Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011. Bahwa masyarakat berhak dan wajib terlibat dalam pembentukan atas suatu peraturan perundang-undangan. Masyarakat punya ruang yang besar untuk berpartisipasi dalam pembuatan suatu kebijakan.

Berbicara mengenai pemilu, tentunya tidak terlepas dari ragam permasalahan yang terjadi. Sebagai misal, korupsi pemilu. Polemik korupsi pemilu diangkat dan diulas oleh Hamdan Zoelva melalui tulisannya yang berjudul “Memberantas Electoral Corruption.” Hamdan melalui tulisannya berusaha mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dana pemilu dengan tujuan mendeteksi korupsi yang kerap terjadi dalam pelaksanaan pemilu dan pemilu yang terselenggara dengan fair bagi semua pasangan calon. Lebih daripada itu, pengaturan dana kampanye pemilu merupakan suatu upaya untuk menyelamatkan kebijakan publik yang akan dibuat oleh politisi dan pemerintah yang terpilih untuk memerintah.

Pandangan Hamdan tersebut berkaitan dengan apa yang disampaikan Yuna Farhan melalui tulisannya “Menelusuri Siklus Politisasi Anggaran pada Tahun Pemilu.” Yuna menjelaskan bahwa Political budget cycles sudah menjadi fenomena universal didukung dengan berbagai studi empiris di berbagai Negara. Berbagai variabel yang mempengaruhi politcal budget cycles seperti perubahan pola pada struktur anggaran baik secara agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi dalam praktek penganggaran di Indonesia yang berkaitan dengan siklus Pemilu 2009 ataupun menjelang Pemilu 2014. Melihat perkembangan saat ini, yang menjadi perhatian tidak hanya political budget cycles, melainkan political corruption cycle atau siklus korupsi politik pada tahun-tahun Pemilu yang telah meningkat dengan ekstrim.

Masyarakat tidak saja dapat ditafsirkan sebagai satu kesatuan, tetapi juga perlu dibatasi mengingat perbedaan hakikat antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya keterwakilan perempuan sebagai salah satu syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun 2012 menegaskan setiap partai politik peserta pemilu harus memenuhi 30% keterwakilan perempuan. Kondisi ini patut diperjuangkan, mengingat praktik selama ini, pihak yang duduk baik di parlemen maupun pemerintah mayoritas diduduki oleh laki-laki. Apabila tidak diperjuangkan, hal ini akan berdampak negatif terhadap mandeknya aspirasi perempuan dalam hukum dan pemerintahan. Dan kondisi tersebut telah ditulis oleh Nindita Paramastuti dalam tulisannya yang berjudul: “Perempuan dan Korupsi: Pengalaman Perempuan Menghadapi Korupsi dalam Pemilu DPR RI 2009.”

Masih berhubungan dengan tema akuntabilitas keuangan politik, Didik Supriyanto dan Lia Wulandari dalam tulisan berjudul Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Kampanye, menguraikan bahwa dana kampanye adalah salah satu hal penting dalam proses pemilu. Dana kampanye diperlukan oleh partai politik dan kandidatnya untuk dapat berkompetisi di dalam pemilu. Setiap partai politik, kandidat/calon legislatif tidak akan dapat bekerja secara maksimal dalam kampanye menjelaskan tanpa adanya sokongan dana kampanye yang cukup. Kebutuhan untuk kampanye pemilu sangat beragam dan tidak terhingga, dengan kebutuhan yang tidak terhingga itu berakibat pada kebutuhan dana kampanye yang tidak terbatas.

Kebutuhan inilah yang kemudian mendorong partai politik dan para kandidat politisi yang ikut bertarung pada pemilu berbondong-bondong mencari dan mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya sebagai modal untuk kampanye. Tidak sedikit di antara mereka yang pada akhirnya menghalalkan segala upaya dan cara untuk meraup dana demi melanggengkan tampuk kekuasaan mereka. Sayangnya undang-undang pemilu yang ada saat ini belum bisa menjangkau permasalahan itu.

Masih terkait kepemiluan, Ibnu Setyo dan Veri Junaidi dalam tulisannya Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Partisipasi dan Keterbukaan Publik dalam Penyusunan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, memaparkan bahwa partisipasi terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu formil dan materil. Formil dalam artian masyarakat diberi ruang menyalurkan aspirasinya, dan materil adalah aspirasi yang disampaikan tersebut digunakan sebagai pertimbangan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik, agenda partisipasi harus didorong dengan asas keterbukaan atau transparansi. Karena dengan adanya transparansi, partisipasi dapat “tumbuh” dengan aman.

August Mellaz dan Khoirunnisa dengan judul “Keserentakan Pemilu:Pelaksanaan Pemilukada Menuju Pemilu Nasional.” August Mellaz dan Khoirunnisa berpandangan bahwa Gagasan keserentakan pemilu, hendaknya diarahkan pada upaya-upaya yang dapat menjawab persoalan efektivitas pemerintahan. Efektivitas pemerintahan sendiri hendaknya dilihat baik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Jika sistem pemilihan dapat didesain, sehingga memunculkan peta koalisi pemerintahan yang sebangun, baik nasional dan lokal, maka harapan atas efektivitas pemerintahan dapat diharapkan.

Jurnal ditutup dengan tulisan Arif Nur Alam yang dalam tulisannya berjudul “Menuntut Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Anggaran Komisi Pemilihan Umum untuk Pemilu 2014 yang Berintegritas”dengan ragam akurasi data, bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu patut dikawal dalam pengelolaan anggaran. Pemikiran tersebut berawal dari polemik tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang baik. Sehingga timbul suatu kekhawatiran terhadap peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

Atas disusunnya Jurnal Pemilu dan Demokrasi edisi kelimaini, kami segenap jajaran redaksi mengucapkan selamat membaca dan semoga apa yang terkandung di dalamnya bisa memberi manfaat bagi penguatan kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Untuk dapat membaca lebih lengkap tulisan-tulisan tersebut, silakan mengunduh buku pada link download attachment di bawah.

Jakarta, Februari 2013

Redaksi

Download Attachments