• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:6 mins read

Pilkada di 7 provinsi dan 181 kabupaten/kota yang semestinya berlangsung sepanjang Juni-Desember 2015 akan diserentakkan pelaksanaannya pada Desember 2015. Rencana KPU tersebut merupakan perintah Pasal 201 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dinyatakan, ”Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2015”.

Banyak pihak menyarankan pilkada serentak Desember 2015 diundur, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, faktor alam. Sepanjang Desember, musim hujan, yang sering membawa banjir dan tanah longsor, sehingga bisa menggagalkan pemungutan suara. Desember juga diliputi cuaca buruk, dapat menghambat distribusi logistik pemilu.

Kedua, faktor anggaran. Perppu No 1/2014 menyebutkan, pilkada serentak 2015 dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Padahal, berdasarkan pengalaman, banyak kepala daerah memainkan APBD untuk mengintervensi KPU daerah karena mereka mencalonkan lagi atau menjagokan calon lain.

Ketiga, faktor pengamanan. Pilkada paling sering memicu kekerasan dan kerusuhan. Sebelumnya, jadwal pilkada berbeda memudahkan kepolisian mengonsentrasikan pasukan; jika perlu menambah personel dari daerah lain. Dengan pilkada serentak, sementara jumlah personel terbatas, butuh waktu buat KPU dan kepolisian untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kekerasan dan kerusuhan. Bantuan TNI diperlukan, tetapi kehadiran pasukan TNI di tengah pilkada bisa menimbulkan prasangka macam-macam jika tidak dipersiapkan hati-hati.

Keempat, faktor hukum. Pasal 201 Ayat (1) Perppu No 1/2014 menghendaki agar pilkada diserentakkan pada Desember 2015. Pemaksaan jadwal ini menimbulkan komplikasi hukum. Itu karena, Pasal 107 dan 109 masih membuka pilkada putaran kedua jika tidak ada calon yang meraih sedikitnya 30 persen suara. Jika pilkada (putaran pertama) pada Desember 2015, pilkada putaran kedua akan terlaksana pada Januari 2016. Jelas, ini menyalahi ketentuan Pasal 201 Ayat (1). Selain itu, Pasal 157 mengatur waktu sangat panjang untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada. Akibatnya, jika hasil pilkada dipersengketakan, pelantikan kepala daerah terpilih baru Februari 2016. Padahal, pengertian pelaksanaan pilkada (serentak 2015) itu termasuk pelantikan.

Opini lainnya: Mimpi PDIP Menyapu Pilkada[…]

Urgensi siklus pemilu

Sesungguhnya ada faktor yang lebih penting untuk dipertimbangkan dalam pengunduran pilkada serentak pada Desember 2015, yaitu siklus pemilu. Dalam sepuluh tahun terakhir, siklus pemilu lima tahunan adalah sebagai berikut: tahun pertama terdapat pemilu legislatif (April), disusul pemilu presiden (Juli), dan jika perlu, dilanjutkan pemilu presiden putaran kedua (September); berikutnya, tahun kedua, tahun ketiga, taun keempat, dan tahun kelima, digelar pilkada yang berserakan waktunya.

Siklus pemilu tersebut tak hanya menyebabkan pemerintahan terbelah secara horizontal, dan pemerintahan terputus secara vertikal (Didik Supriyanto, ”Salah Paham Pemilu Serentak”, Kompas, 24/1/2014), tetapi juga membuat beban penyelenggara melampaui kapasitas, mendorong pemilih tak rasional, dan menciptakan konflik internal partai politik berkepanjangan. Oleh karena itu, demi menciptakan siklus pemilu yang ideal, kepentingan penyelenggara, pemilih, dan partai politik harus diperhatikan.

Pertama, kepentingan penyelenggara. Pemilu yang baik memerlukan perencanaan dan persiapan panjang. Berdasarkan pengalaman banyak negara, UU yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu seharusnya sudah disahkan dua tahun sebelum hari H. Perppu No 1/2014 akan disahkan menjadi UU pada Januari 2015. Jika pilkada serentak dilaksanakan Desember 2015, KPU punya waktu kurang dari satu tahun untuk perencanaan dan persiapan. Jelas ini tidak cukup. Selain karena kali ini merupakan pengalaman menyelenggarakan pilkada serentak pertama kali, materi Perppu No 1/2014 juga banyak membuat ketentuan baru, seperti uji publik calon dan perselisihan hasil pemilu di luar Mahkamah Konstitusi.

Kedua, kepentingan pemilih. Pemilih butuh waktu cukup agar mampu bersikap rasional dalam memberikan suara: memilih kembali (ganjaran) atau tidak memilih kembali (hukuman) terhadap mereka yang terpilih pada pemilu terakhir. Tentu saja kinerja anggota legislatif dan pejabat eksekutif terpilih pada Pemilu 2014 belum terlihat pada 2015 sehingga pemilih sulit memberikan ganjaran dan hukuman dengan tepat.

Jika pilkada serentak dipaksakan pada Desember 2015, pemilih cenderung mengedepankan sentimen dalam memberikan suara sehingga pilkada sulit menghasilkan kepala daerah berkualitas. Selain itu, jarak setahun pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak membuat pemilih jenuh sehingga angka partisipasi bisa turun. Padahal, bagi negara yang sedang membangun demokrasi, tingginya partisipasi pemilih diperlukan untuk menjaga legitimasi pemerintahan.

Ketiga, kepentingan partai politik. Siklus pemilu selama ini telah menciptakan konflik internal partai berkelanjutan. Pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden menimbulkan perpecahan antarkader. Sebetulnya ini bukan khas Indonesia. Yang jadi masalah di sini, setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden, partai tak punya waktu konsolidasi sebab belum tuntas menyelesaikan konflik internal akibat pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden, perpecahan kembali melanda pengurus daerah akibat pencalonan kepala daerah. Karena pilkada terjadi sepanjang empat tahun, sepanjang itu juga partai sibuk mengurus konflik internal.

Dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, partai politik butuh waktu setidaknya dua tahun untuk menuntaskan konsolidasi internal sebelum mengikuti pemilu berikutnya. Kegagalan konsolidasi tak hanya merugikan partai politik sendiri, tetapi juga pemilih dan masyarakat. Sebab, saat partai dilanda konflik, tidak mudah mengajukan calon terbaik.

Opini lainnya: Kredibilitas Penyelenggara Pemilu […]

Juni paling tepat

Demi menciptakan siklus pemilu yang ideal buat penyelenggara, pemilih, dan partai politik, memundurkan jadwal pilkada serentak pada Desember 2015 ke 2016 adalah keharusan. Jika demikian, siklus macam apa yang diperlukan, bagaimana mengubah jadwal yang ada? Jawabannya harus mengacu pada Putusan MK No 14/PUU-XI/2013, 23 Januari 2014, yang memerintahkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak pada 2019.

Jika pilkada serentak pada 2016, lalu pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada 2019, kelak siklus pemilu lima tahunan adalah sebagai berikut: tahun pertama (2019) pemilu legislatif dan pemilu presiden; tahun kedua (2020) persiapan penyelenggara, pematangan pemilih, dan konsolidasi partai politik untuk pilkada serentak; tahun ketiga (2021) pilkada serentak; tahun keempat (2022) dan tahun kelima (2023) persiapan penyelenggara, pematangan pemilih, dan konsolidasi partai untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden. Untuk mencapai siklus itu, dan mengikuti logika Perppu No 1/2014, pilkada serentak gelombang kedua perlu digelar pada 2017, yakni pilkada untuk mengganti kepala daerah yang masa jabatannya habis sepanjang 2017-2019. Di sini, kepala daerah terpilih dilantik sesuai jadwal, tetapi masa kerjanya habis 2021 karena pada tahun ini akan digelar pilkada serentak nasional.

Selanjutnya tentang bulan yang tepat untuk pelaksanaan pemilu dan pilkada. Selama ini, pemilu legislatif jatuh pada April, disusul pemilu presiden pada Juli, dan jika perlu dilanjutkan, putaran kedua jatuh September. Jadwal tersebut untuk mengejar pelantikan DPR dan DPD pada 1 Oktober dan pelantikan presiden pada 20 Oktober. Karena pemilu legislatif dan presiden disatukan, pelaksanaan paling baik jatuh pada Juni. Pelaksanaan bulan ini tidak terlalu jauh dari jadwal pelantikan, tetapi juga masih mencukupi waktunya jika ada pemilu presiden putaran kedua. Dari segi iklim dan cuaca, Juni adalah bulan paling tenang untuk pelaksanaan pemilu sehingga pilkada serentak pun sebaiknya juga digelar pada Juni.

Akhirnya, demi menciptakan siklus pemilu ideal dan menetapkan Juni sebagai bulan pemilu dan pilkada, setelah Perppu No 1/2014 disahkan, pemerintah perlu segera mengajukan rancangan UU untuk merevisi undang-undang pilkada. Agar tidak berlarut-larut, materi revisi difokuskan saja ke pengaturan kembali jadwal pilkada serentak.

Didik Supriyanto

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

Kompas, 6 Januari 2015

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/150106kompas/?abilitastazione=#/7/