• Post author:
  • Post category:Pemikiran
  • Reading time:4 mins read

PILKADA 2018 hanya diikuti oleh 8.85 persen perempuan calon kepala daerah. Ada 101 perempuan dari 1140 pendaftar. Berdasarkan riset Perludem, angka ini meningkat, meski tak signifikan, jika dibandingkan dengan partisipasi perempuan yang hanya mencapai 7.47 persen di Pilkada 2015 dan 7.17 persen di Pilkada 2017.

Mereka berlatar belakang kader partai, mantan legislator, petahana, dan mempunyai jaringan kekerabatan dengan elite. Empat hal ini konsisten mendominasi latar belakang perempuan calon kepala daerah dari pilkada ke pilkada.

Angka dan dominasi latar belakang ini bukanlah kabar gembira bagi kemajuan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik. Selain jumlahnya yang minim, sosok perempuan calon kepala daerah ini lebih condong merepresentasikan kuasa elite ketimbang merepresentasikan (kepentingan) perempuan.

Visi, misi, program

Tak semua perempuan calon kepala daerah mempunyai visi, misi, dan program kerja berperspektif gender. Hanya ada 37 dari 101 perempuan calon kepala daerah (37 persen) yang mencantumkan visi, misi, dan program yang menyematkan kata perempuan, wanita, atau ibu.

Jika dilihat lebih lanjut, perspektif gender belum menjadi bagian integral dari visi, misi, dan program tersebut. Visi, misi, program yang diusung masih bersifat umum tanpa menjabarkanya lebih lanjut dalam turunan program yang bisa dilaksanakan. Sebagai contoh, tak ada keterangan lebih lanjut mengenai maksud dari peningkatan pemberdayaan perempuan; pemenuhan hak dan perlindungan perempuan; memperluas ruang bagi wanita; dll.

Hal ini menunjukkan bahwa isu perempuan hanya disematkan begitu saja dalam visi, misi, dan program dengan mengabaikan substansinya. Pencomotan perspektif ini jauh dari substansi kepentingan perempuan yang semestinya tergambar dalam visi, misi, dan program. Visi, misi, dan program seharusnya memuat pemahaman yang baik atas persoalan kompleks dari berbagai isu yang dihadapi perempuan. Sehingga visi, misi, dan program dapat benar-benar menjawab kebutuhan serta mampu merespon tantangan yang khas dihadapi perempuan.

Prospek

Visi, misi, dan program perempuan calon kepala daerah ini akan menemui tantangan ketika diimplementasikan dalam bentuk peraturan daerah maupun rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Seperti diketahui, UU 9/2015 menegaskan setiap kebijakan publik harus dibahas bersama-sama antara kepala daerah dengan DPRD. DPRD bersama kepala daerah membahas pembentukan Perda dan APBD. Karena itu, keberhasilan perempuan kepala daerah melahirkan kebijakan properempuan tentu dipengaruhi relasi hubungan antara kepala daerah dengan DPRD.

Indeks effective number of parliamentary parties (ENPP) yang diajukan Laakso dan Taagepera adalah indeks yang paling relevan untuk mengukur tingkat fragmentasi parlemen. Semakin besar indeks ENPP, maka semakin terfragmentasi parlemen dan semakin sulit keputusan diambil. Parlemen di daerah-daerah tempat perempuan calon kepala daerah tersebut bertarung memiliki nilai rata-rata ENPP 8 yang berarti ada fragmentasi ekstrem di parlemen.

Sementara itu, koalisi partai politik pengusung perempuan calon kepala daerah dibangun dalam fondasi yang lemah. Rata-rata perempuan calon kepala daerah bervisi, misi, dan program yang menyematkan kata perempuan, wanita, atau ibu hanya didukung oleh 30.43 persen kursi di DPRD. Pembentukan koalisi tidak didasarkan pada pertimbangan soliditas koalisi berbasis ideologi untuk menjalankan pemerintahan dan menelurkan kebijakan properempuan selama lima tahun ke depan.

Hal ini tentu akan menyulitkan visi, misi, dan program yang diusung perempuan diimplementasikan menjadi kebijakan. Perempuan kepala daerah, yang tidak mampu meraih dukungan mayoritas parlemen, perlu meimikirkan cara untuk memenuhi janji-janji politik atau visi, misi, dan program yang ditawarkan saat pilkada. Lemahnya dukungan partai politik parlemen berdampak pada terhambatnya kebijakan-kebijakan publik yang diusulkan.

Kondisi ini membuka peluang koalisi bagi partai politik di luar partai pengusung pemerintahan di saat pemerintah sudah berjalan. Di sisi lain, partai di luar pemerintahan saling jual-beli pengaruh.

Jebakan korupsi

Tak sedikit kepala daerah yang terjerat korupsi pada periode kepemimpinannya. Dari data KPK yang dikumpulkan JARING (Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi), dalam rentang 2011—2018, sudah 8 kepala daerah ditangkap karena memberikan suap dalam pembahasan APBD kepada 58 anggota legislatif. Pembahasan APBD menjadi kasus dengan total tersangka paling banyak, mencapai 66 orang yang didominasi anggota DPRD.

Sejak otonomi daerah bergulir, kepala daerah memperoleh sekaligus tritunggal sumber daya secara optimal: kewenangan (desentralisasi politik), diskresi kebijakan (desentralisasi administratif), maupun sumber keuangan (desentralisasi fiskal) (Jaweng, 2014). Sementara DPRD tak punya kuasa implementasi anggaran.

Keadaan inilah yang berpotensi berujung pada transaksi dan korupsi. Berbagai kepentingan partai di DPRD membuat DPRD mencoba mengintervensi kepala daerah dalam menyusun APBD. DPRD akan berusaha membelokkan anggaran yang harusnya digelontorkan pada kebijakan properempuan yang diusung kepala daerah ke kebijakan yang memuat kepentingan DPRD di dalamnya.

Maharddhikapeneliti pada Perludem dan pengelola rumahpemilu.org