• Post author:
  • Post category:Artikel
  • Reading time:7 mins read

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempublikasi hasil penelitian mengenai afirmasi perempuan di Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2019. Hasilnya mengejutkan gerakan perempuan politik seperti Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI), Koalisi Perempuan Politik  Indonesia (KPPI), dan Maju Perempuan Indonesia (MPI).

“Gambaran ini rasanya, seperti apa yang sudah diperjuangakan oleh organisasi perempuan, kemana gitu? Perempuan masih kurang punya kemauan untuk jadi anggota legislatif,” kata Ketua Presidium KPPRI, Ratu Hemas, pada diskusi “Mengafirmasi Perempuan di DCT” di Media Centre KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (26/9).

Jumlah perempuan di nomor urut satu menurun

Trend keterwakilan perempuan di parlemen sempat menunjukkan peningkatan. Hasil Pemilu 1999, 9 persen perempuan berhasil duduk di parlemen. Angka ini bertambah pada 2004 dan 2009, ketika Pemilu mengantarkan 12 persen dan 18 persen perempuan ke posisi wakil rakyat di tingkat pusat. Namun, pada Pemilu 2014, angka keterwakilan perempuan stagnan, menimbulkan kekhawatiran terhadap tingkat keterwakilan perempuan di parlemen 2019.

Mencoba memproyeksikan  keterwakilan perempuan, Perludem menganalisis posisi perempuan di DCT. Ternyata, menurun dari 2014, hanya ada 19 persen dari total  3200 perempuan di DCT yang ditempatkan di nomor urut satu. Pada Pemilihan Anggota DPR RI 2014, jumlah ini mencapai 30 persen.

“Ada afirmasi di Undang-Undang (UU) Pemilu, satu di antara tiga nama di daftar calon adalah perempuan. Nah, dari regulasi ini, ternyata tidak banyak perempuan yang ditempatkan di nomor urut satu. Hanya 235 perempuan dengan nomor urut satu,” ujar Peneliti Perludem, Heroik Pratama.

Dari data yang diolah, perempuan paling banyak ditempatkan di nomor urut tiga dan enam. 781 di nomor urut 3 dan 572 di nomor urut 6. Nomor urut 2, 4, dan 5 masih didominasi oleh laki-laki.

Nomor satu, posisi yang menguntungkan

Nomor urut satu tak hanya menjadi angka keberuntungan bagi calon anggota legislatif (caleg) dalam suatu pemilihan bersistem daftar proporsional tertutup. Pasalnya, dalam pemilu borongan yang menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPR Daerah (DPRD)—bahkan Pemilu 2019 serentak dengan Pemilihan Presiden—informasi riwayat hidup dan rekam jejak para calon membebani pemilih. Pemilih cenderung memilih caleg dengan nomor urut paling atas karena stigma orang terbaik di peringkat paling atas.

“Dari data Pemilu 2009 dan 2014, nomor urut satu memang terbukti paling banyak dipilih. Angka keterpilihannya lebih dari 60 persen. Besaran keterpilihan ini menurun untuk nomor urut 2,3, dan seterusnya secara substansial,” jelas Heroik.

Secara berurutan, tingkat keterpilihan nomor urut 1,2,3,4,5, dan 6 pada Pemilu 2014 yakni, 62,14 persen, 16,96 persen, 4,46 persen,4,64 persen, 3,75 persen dan 6,96 persen.

Menguji keseriusan partai terhadap afirmasi perempuan

Menilai keseriusan partai politik peserta pemilu dalam mengafirmasi perempuan tak cukup dengan hanya melihat besaran persentase keterwakilan perempuan di dalam daftar calon yang diajukan. Perlu juga melihat seberapa sering partai menempatkan perempuan di nomor urut atas.

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) misalnya. Persentase keterwakilan perempuan di daftar calonnya adalah 55,47 persen. Namun, caleg yang diajukan hanya 137 orang untuk 70 daerah pemilihan (dapil). Dengan kata lain, perempuan caleg PKPI berjumlah 76 orang.

PKPI menempatkan 26 perempuan di nomor urut satu, 25 di nomor urut dua,15 di nomor urut tiga, 7 di nomor urut empat, dan 3 di nomor urut lima. PKPI tak pernah memiliki enam caleg di setiap dapil DPR RI.

Bandingkan dengan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) yang sama-sama mengajukan sedikit caleg, yakni 225 orang. 14 perempuan di nomor urut satu, 47 dinomor urut dua, 29 di nomor urut tiga, 12 di nomor urut empat, 5 dinomor urut lima, dan 2 di noMor urut enam.

Manakah yang lebih mengedepankan afirmatif?

Mari bandingkan kembali antara dua partai pengusung calon presiden (capres), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) adalah partai dengan persentase keterwakilan terkecil, yaitu 36,73 persen. Dari total 569 yang dicalonkan, 209 di antaranya perempuan. Gerindra menempatkan 14 perempuan di nomor urut satu dan dua, 54 di nomor urut tiga, 17 di nomor urut empat, 28 di nomor urut lima, dan 42 di nomor urut enam.

Persentase keterwakilan perempuan di DCT PDIP adalah 37,52 persen atau terdapat 215 perempuan caleg. 13 perempuan di nomor urut satu, 23 di nomor urut dua, 49 di nomor urut tiga, 9 di nomor urut empat, 15 di nomor urut lima, dan 54 di nomor urut enam.

Jika melihat penempatan nomor urut yang dilakukan oleh semua partai politik, menurut Heroik, partai masih belum afirmatif. Paling banyak partai menempatkan perempuan di nomor urut satu di 26 dapil. Kasus Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), secara berurutan hanya menempatkan 4 dan 6 perempuan di nomor urut satu.

“Ini menunjukkan, bahwa ketika laki-laki masih bisa ditempatkan  di nomor urut satu dan dua, perempuannya ditempatkan di nomor urut tiga. Begitu juga pada nomor urut empat, lima, dan enam. Fakta ini bisa dikatakan kalau partai memang belum serius menerapkan afirmasi terhadap perempuan,” tandas Heroik.

Di DPD, perjuangan perempuan lebih berat lagi

Jika pada Pemilihan Anggota DPR RI, 3200 perempuan caleg akan bertarung melawan 4785 laki-laki caleg, pada Pemilihan Anggota DPD, 136 perempuan calon senator akan berebut kursi dengan 671 laki-laki di 34 dapil. Sedikitnya jumlah perempuan calon anggota DPD dinilai sebagai akibat dari tak adanya kebijakan afirmasi.

“Ketika DPR dan DPRD ada afirmasi wajib agar perempuan ada di setiap  tiga nama calon, tapi di DPD tidak ada. Padahal, saat perumusan UU Pemilu, kita mengusulkan adanya kebijakan  afirmasi berupa pengurangan syarat pencalonan,” ucap Heroik.

Gambaran ekstrim, DPD Riau dan Sulawesi Tengah akan mengalami nirketerwakilan perempuan. Tak ada perempuan yang mencalonkan diri. Di dapil Aceh, Yogyakarta, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat dan Papua Barat, persaingan sengit dihadapi perempuan dalam dominasi politik laki-laki.

Yang mesti dilakukan dan diupayakan

Demi meneruskan perjuangan permepuan di kancah politik nasional, beberapa tindakan  khusus sementara wajib dilakukan. Perludem, KPPRI, KPPI, dan MPI mendorong agar pembentuk UU memberlakuan reserved seat untuk perempuan atau memisah kontestasi perempuan dengan laki-laki. Di tengah kultur masyarakat yang patriarkis dan dominasi politik elit laki-laki, lompatan jauh ke depan regulasi progresif untuk perempuan dibutuhkan.

“KPPI akan usulkan agar bisa mencapai keterwakilan 30 persen itu, maka perempuan jangan diadu dengan laki-laki di dapilnya. Misal, saya di dapil 1, ada tiga perempuan. Ya saya diadu bertiga saja agar otomatis akan ada satu perempuan yang jadi,” kata Presidium KPPRI, Ulla Nurrachwaty.

Ulla juga mengimbau agar para perempuan politisi yang tergabung dalam KPPRI, KPPI, dan MPI mengambil posisi tegas terhadap pimpinan partai. Jika elit partai enggan menempatkan perempuan di nomor urut atas, perempuan politisi mesti berani mencabut dukungannya kepada partai.

“Jumlah pemilih perempuan itu 92 juta, tetapi perwakilannya tidak seimbang. Makanya, kalau partai gak menaruh perempuan di nomor urut atas, maka awas, perempuan akan mengatakan go to hell party!” tegas Ulla.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan dapat menyosialisasikan sistem Pemilu 2019 dengan baik. Pemilih harus mengetahui bahwa dalam sistem proporsional daftar terbuka, keterpilihan caleg tak didasarkan pada nomor urut. Pemilih dapat memilih caleg di nomor urut  berapapun yang dikehendaki.

Pemerintah didesak untuk mengatur agar 30 persen bantuan dana partai diwajibkan untuk pendidikan dan kaderisasi perempuan.

 

Amalia Salabi
Jurnalis rumahpemilu.org